“GARUDA
WISNU KENCANA”
I
Nyoman Nuarta
75
m x 60 m
A.
BIOGRAFI
I Nyoman Nuarta dibesarkan di lingkungan keluarga pengusaha
yang berhasil dan cukup terkenal di kotanya. Meski demikian, putra pasangan
Wirjamidjana dan Semuda ini tumbuh dalam didikan pamannya, seorang kelihan adat
dengan disiplin yang cukup ketat. Perkenalannya dengan guru menggambar, Ketut
Dharma Susila, menjadi titik awal perjalanan karirnya di dunia seni.
Untuk mengasah bakatnya, pria kelahiran Tabanan, 14 November 1951 ini
melanjutkan kuliahnya di Jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB)
pada tahun 1972. Saat itulah karirnya di dunia seni berawal. Bersama beberapa
sahabat dekatnya seperti pelukis Hardi, Dede Eri Supria, Harsono, serta
kritikus seni Jim Supangkat, Nyoman bergabung dalam Gerakan Seni Rupa Baru di
Indonesia pada tahun 1977. Gerakan itu kemudian menjadi salah satu tonggak
penting perkembangan seni rupa di Indonesia bahkan telah menerima penghargaan
dari Presiden HM Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988) Soeharto di
tahun 1979.
Nyoman awalnya lebih tertarik dalam bidang seni lukis dengan mengambil kuliah
di jurusan Seni Rupa. Namun pada akhirnya, ia memutuskan untuk pindah ke
jurusan seni patung setelah ia mengikuti kuliah selama dua tahun. Ia merasa,
bakat serta kemampuannya lebih berkembang di seni patung. Pilihan itu tidak
keliru. Pada tahun 1979, ia memenangkan Lomba Patung Proklamator Republik
Indonesia yang sekaligus mengantarkannya ke jenjang ketenaran. Sejak itu, anak
ke-6 dari 9 bersaudara ini banyak menelurkan karya-karya mengagumkan yang
tersebar hampir di seluruh Indonesia. Pada 1993, Nyoman membuat Monumen
Jalesveva Jayamahe, yang hingga hari ini masih berdiri kokoh di ujung Utara
Surabaya. Monumen tersebut menggambarkan sosok Perwira TNI Angkatan Laut dengan
memakai pakaian PDU lengkap dengan pedang kehormatan sedang menatap ke arah
laut. Patung tersebut berdiri tegak di atas bangunan gedung dengan tinggi keseluruhan
mencapai 60,6 m. Monumen Jalesveva Jayamahe menggambarkan generasi penerus
bangsa yang dengan penuh keyakinan dan kesungguhan siap menerjang ombak badai
menuju arah yang telah ditunjukkan yaitu cita-cita bangsa Indonesia.
Karya lain yang tak kalah fenomenal adalah patung Garuda Wisnu Kencana (GWK).
Patung ini sendiri menggambarkan sosok Dewa Wisnu (Dewa penyelamat bagi umat
Hindu) yang sedang mengendarai burung Garuda. Pembuatan patung ini terinspirasi
dari kisah Adi Parwa yang diambil pada episode Garuda yang memberikan kesetiaan
dan pengorbanannya untuk menyelamatkan ibunya dari belenggu perbudakan. Hal
yang dilakukannya yaitu dengan mengabdi kepada Dewa Wisnu dan menjadi kendaraan
bagi sang Dewa.
Bisa dibilang patung GWK merupakan karya terbesar I Nyoman Nuarta. Pasalnya,
pembangunan patung yang terletak di Desa Ungasan, Jimbaran, Bali ini kerap
disebut sebagai mega proyek. Taman budaya Garuda Wisnu Kencana sendiri
mempunyai luas keseluruhan sekitar 200 hektare. Dengan tinggi sekitar 75 meter,
patung tersebut diletakkan di atas fondasi setinggi 70 meter. Dengan demikian,
total tingginya mencapai 145 meter. Untuk patung Garudanya saja mempunyai lebar
bentangan sayap sekitar 66 meter. Berat keseluruhan patung tersebut mencapai 4000
ton. Patung GWK bahkan disebut-sebut sebagai patung tertinggi di dunia
mengalahkan patung Liberty yang menjadi ikon kota New York, Amerika
Serikat.
Bagi seniman yang sudah menciptakan ratusan patung bernilai seni dan berdaya
jual tinggi itu, proyek GWK ibarat ladang amal. Motifnya menggagas pembangunan
proyek tersebut bukan semata untuk keuntungan materi. Oleh sebab itu, ia tidak
buru-buru mematok tarif untuk karya besarnya tersebut. Yang terpenting bagi
Nyoman ialah, ia bisa memberikan warisan budaya yang berharga bagi anak cucu
bangsa. Kedengarannya memang klise, tapi itulah Nyoman yang sudah hidup
makmur dari mematung.
Selain sebagai alternatif objek wisata di Pulau Dewata, tujuan pembangunan
patung tersebut menurut Nyoman adalah untuk membantu para seniman tua yang
sudah pensiun dan beberapa kelompok kesenian yang bangkrut karena kekurangan
dana. Di samping itu, sebagai ahli patung modern, Nyoman Nuarta merasa sangat
prihatin melihat perkembangan seni patung di Indonesia, karena patung saat ini
belum memiliki tempat yang layak di hati masyarakat. Padahal patung dapat
digunakan untuk mempercantik lingkungan.
Selain monumen Jalesveva Jayamahe dan Garuda Wisnu Kencana, masih ada sekitar
ratusan patung serta monumen yang terlahir dari buah kreativitas suami dari
Cynthia Nuarta ini dan tersebar di seluruh penjuru Tanah Air. Di antaranya,
Patung Wayang (Solo), Monumen Arjuna Wijaya (Jakarta), Patung Putri Melenu
(Kalimantan Timur), Patung Timika untuk Alun-alun Newtown Freeport (Irian
Jaya), dan masih banyak lagi.
Selama berkiprah sebagai pematung, Nyoman Nuarta juga pernah merasakan
pengalaman yang kurang menyenangkan. Seperti yang terjadi di tahun 2010 lalu,
saat Patung Tiga Mojang buatannya yang telah dua tahun berdiri di sebuah
perumahan di Kota Bekasi, Jawa Barat, dirobohkan oleh sebuah ormas karena
dituding sebagai perlambangan Trinitas dan dianggap menyinggung perasaan umat
Islam serta diduga tidak memiliki ijin. Patung tersebut dirobohkan pada pukul 07.30
WIB dan baru pukul 10.00 WIB berhasil dipindahkan ke Mapolrestro Kota Bekasi
untuk selanjutnya diserahkan kembali oleh pengembang.
Nyoman menyesalkan aksi tersebut seraya menjelaskan bahwa tudingan tersebut
sama sekali tidak benar. "Patung tersebut adalah gambaran mojang priangan
yang menggunakan pakaian kemben bukan gambaran Bunda Maria yang memakai
kerudung," kata pematung yang tinggal di Tirtasari, Bandung ini seperti
dikutip dari situs antaranews. Nyoman juga menambahkan, peristiwa tersebut
merupakan preseden buruk bagi kesenian dan kebudayaan Indonesia.
Selain membuat patung dan monumen, ayah dua putri ini juga membuat trofi untuk
beberapa kejuaraan olahraga. Pada tahun 1994, ia mendesain Piala Liga Dunhill.
Kemudian di tahun 2011, Nyoman membuat Championship Trophy National Basketball
League (NBL) Indonesia musim 2011-2012. Trofi tersebut memiliki dimensi 22 cm x
22 cm, tinggi 48 cm, berat 22 kg, serta berbahan dasar tembaga berlapis emas 22
karat, serta didesain dengan detail yang mengagumkan. Di situ terdapat
sosok-sosok manusia yang mengikuti pusaran dan berebut bola, memperlihatkan
gerakan-gerakan dinamis yang mengarah pada perjuangan dan keuletan
mencapai prestasi trofi ini merefleksikan bahwa prestasi merupakan kedigdayaan
yang bisa dicapai manusia.
Nyoman mengaku bangga dapat mempersembahkan karya seninya bagi dunia olahraga
Tanah Air. Ia juga merasa prihatin dengan kemajuan dunia olahraga di Indonesia,
karena itu, ia merasa ikut memiliki tanggung jawab dalam memajukannya.
Komisioner PT. Nyoman Nuarta Enterprise ini berharap trofi tersebut dapat
menginspirasi perjuangan anak bangsa untuk memajukan olahraga di Indonesia,
khususnya basket. Selain trofi, Nyoman Nuarta juga mempersembahkan sebuah puisi
khusus yang menceritakan filosofi dari rancangan trofi tersebut.
Kontribusi I Nyoman Nuarta sebagai pematung telah mendapatkan pengakuan, baik
dari pemerintah Indonesia maupun dunia internasional. Nyoman juga bergabung
dalam organisasi seni patung internasional, di antaranya International
Sculpture Center Washington, Amerika serikat, Royal british sculpture
society, London dan juga sterring commitee for Bali Recovery Program.
Dalam berkarya, peraih penghargaan Jasa Adiutama dari ITB tahun 2009 ini lebih
memilih menggunakan bahan kuningan dan tembaga. Kendati kedua material tadi
terbilang sulit dibentuk, namun berkat tangan terampil, ketajaman logika dan
kepekaan rasa seninya, kuningan dan tembaga berhasil diubah menjadi
patung-patung indah. Dengan teknik las, ia mengerjakan seluruh detail yang
rumit. Kemudian potongan-potongan logam kuningan dan tembaga yang keras
dibentuk dengan jalan pemanasan. Tembaga cair yang telah dipanaskan tadi lalu
diteteskan di atas batang kuningan yang telah ia satukan.
Dalam mengerjakan proses tersebut, Nyoman menggunakan tiga alat las yang
ukurannya berbeda. Satu untuk membentuk, satu untuk memanaskan, dan satu lagi
untuk mempertahankan supaya kuningan tetap cair. Proses pembentukan pun harus
dilakukan dengan sangat cepat, karena logam cair akan membeku kembali dalam
beberapa menit. Nyoman enggan menggunakan tanah liat sebagai bahan pembuat
patung-patungnya karena tanah liat dianggap terlalu lunak untuk menghasilkan
ekspresi yang keras.
Sedangkan untuk patung yang halus seperti Lamunan, Nyoman menerapkan teknik
mencetak model tanah liat. Namun, untuk karya yang menunjukkan citra bergolak,
seperti Prahara, Nyoman menggunakan teknik pahat. Caranya, ia lebih dulu
mencetak bongkahan polyester resin. Bongkahan inilah yang kemudian dipahatnya.
Sementara batu-batuan atau pualam dinilai Nyoman tidak efisien di zaman
teknologi seperti sekarang ini, lantaran sulit didapat, mahal, berat, serta
proses pengerjaannya yang memakan waktu lama.
Perhitungan material dalam membuat karya-karya monumental, menurut Nyoman, sama
pentingnya dengan nilai seninya sendiri. Jangan sampai nilai seninya begitu
diutamakan, tapi pembiayaannya tak terkontrol. Pernyataan ini menunjukkan,
Nyoman mematung bukan cuma untuk kebutuhan berekspresi. Namun ia juga mencoba
bersikap profesional dalam menerima pesanan.
Dalam perkembangan profesinya lebih lanjut, Nyoman terus berusaha melewati
berbagai rintangan dan hambatan. Dipicu semangat profesionalisme dan dukungan
beberapa seniman muda, ia mendirikan satu kelompok yang dikelola melalui
pendekatan manajemen yang apik. Ternyata dengan pendekatan ini dapat dibuktikan
bahwa bidang seni rupa yang selalu dianggap sangat individual ternyata dapat
dilaksanakan melalui sistem manajemen yang profesional. Bersama sang istri yang
sekaligus bertindak sebagai manajer, Nyoman membangun sebuah studio di Bandung
dan mempekerjakan puluhan karyawan. Ia juga mengaku lebih nyaman tinggal di
Kota Kembang ketimbang di kota kelahirannya karena udaranya yang sejuk.
Untuk meneruskan sepak terjangnya, Nyoman mewariskan bakat seninya kepada kedua
putrinya, si sulung, Tania yang menekuni jurusan seni rupa di sebuah perguruan
tinggi di Melbourne, Australia, serta sang adik, Tasya, yang kerap menemani
Nuarta di studionya. Sebagai seorang pematung, Nuarta telah membangun Taman
Patung yang ia namakan NuArt Gallery di tahun 2000. Di taman yang berlokasi di
kawasan Sarijadi, Bandung itu terdapat puluhan patung dalam berbagai bentuk dan
ukuran yang bertebaran di areal seluas tiga hektar. Selain taman, juga dibangun
gedung empat lantai untuk pameran dan ruang pertemuan dengan gaya
artistik.
Kerja keras merupakan prinsipnya dalam menggeluti dunia seni. Dukungan keluarga
juga amat diperlukan sehingga anggapan bahwa masa depan seniman itu suram bisa
ditanggalkan. Sedangkan dalam berkarya, Nuarta tidak pernah mempersoalkan
aliran. Ia mengenal beberapa aliran dan ia percaya perubahan itu adalah
kelebihan manusia dari makhluk lain.
B.
DESKRIPSI
Patung karya I Nyoman
Nuarta ini merupakan patung yang bersifat nyata atau 3 dimensi. Mempunyai
tinggi sekitar 75 meter dan lebar sekitar 60 meter. Bahan yang digunakan oleh I
Nyoman Nuarta pada patung ini adalah “stainless steel”, sehingga GWK akan
memiliki daya tahan terhadap kekuatan gempa berskala 7,5 SR. GWK dibangun
sebagai “landmark” dari kawasan wisata bernama “cultural park” sebuah taman
kebudayaan, di mana para pengunjung bisa menikmati berbagai suguhan atraksi
kebudayaan di dalamnya. Teknik yang digunakan sangat beragam, diantaranya
pahat, tempel, cor, dll.
C.
ANALISIS
Dalam patung “Garuda
Wisnu Kencana” Karya I Nyoman Nuarta ini, tentunya terdapat unsur seni rupa.
Dalam karyanya ini terdapat unsur titik, garis, tekstur, ruang, dan warna.
Tekstur pada patung
dapat dirasakan dengan indra peraba atau kulit kita karena tekstur tersebut
merupakan tekstur tiga dimensi, terasa sedikit kasar. I Nyoman Nuarta tidak
menggunakan warna buatan dalam patung ini, warna patung masih asli dari bahan
yang digunakan untuk membuat patung. Unsur gelap terang terlihat jika sebagian
patung tidak terkena cahaya. Patung “Garuda Wisnu Kencana” ini memiliki ruang
yang dapat dimasuki oleh pengunjung.
D.
INTERPRETASI
Patung Garuda Wisnu
Kencana bagi masyarakat Bali mengandung makna simbolik, karena hampir pada
setiap bangunan suci yang beruwujud Padmasana, pada bagian belakangnya diberi
lukisan atau pahatan burung garuda. Bahkan pada usungan jenazah yang disebut
“wadah” atau “Bade” juga selalu dibuat ornamen berupa burung garuda. Cerita
mengenai burung garuda sebagai sang pembebas dari keterikatan duniawi telah
mengilhami para seniman Bali sejak dulu hingga sekarang untuk memberi tempat
yang khusus bagi burung yang disucikan itu.
Garuda adalah simbol
kebebasan dari belitan para naga, yang menyimbolkan benda-benda duniawi. Dengan
demikian garuda adalah simbol tubuh manusia yang ingin mencari pembebasan.
Untuk itulah garuda
bersedia menjadi kendaraan dewa, dalam hal ini Dewa Wisnu, simbol dari tugas
kebijakan yang diperintahkan Tuhan melalui ajaran agama, agar bisa mendapatkan
amerta.
Dewa Wisnu sendiri tak
lain adalah Hyang Widhi dalam fungsinya untuk memelihara dunia dan segala
isinya. Di dalam menjalankan tugasnya sebagai pemelihara alam semesta, Dewa
Wisnu didampingi oleh dua sakti beliau, yang dalam mitologi dikenal bernama
Dewi Sri atau Dewi Kemakmuran dan Dewi Laksmi, Dewi Keberuntungan.
Dengan demikian Garuda
sebagai kendaraan dari Dewa Wisnu adalah simbol manusia mengemban tugas dari
Tuhan untuk melestarikan alam. Dalam melaksanakan pelestarian itu, manusia
boleh menikmati kemakmuran dan keberuntungan, tetapi tidak boleh terikat dengan
pamrih untuk kepentingan pribadi.
Garuda Wisnu mengandung
filsafat hidup, “Bagaimana caranya bisa hidup di dunia, tetapi tidak asin oleh
garamnya dunia. Seperti nakhoda dengan perahu layar di samudera luas, tetapi
tidak tenggelam oleh air lautan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar