“BADAI PASTI
BERLALU”
Affandi Koesoema
137cm
x 92cm
A.
BIOGRAFI
Affandi
Koesoema dilahirkan di Cirebon pada tahun 1907, putra dari Raden Koesoema,
seorang mantri ukur di pabrik gula di Ciledug, Cirebon. Dari segi pendidikan,
ia termasuk seorang yang memiliki pendidikan formal yang cukup tinggi. Bagi
orang-orang segenerasinya, memperoleh pendidikan HIS, MULO, dan selanjutnya
tamat dari AMS, termasuk pendidikan yang hanya diperoleh oleh segelintir anak
negeri. Namun, bakat seni lukisnya yang sangat kental mengalahkan disiplin ilmu
lain dalam kehidupannya, dan memang telah menjadikan namanya tenar sama dengan
tokoh atau pemuka bidang lainnya.
Pada
umur 26 tahun, pada tahun 1933, Affandi menikah dengan Maryati, gadis kelahiran
Bogor. Affandi dan Maryati dikaruniai seorang putri yang nantinya akan mewarisi
bakat ayahnya sebagai pelukis, yaitu Kartika Affandi.
Sebelum
mulai melukis, Affandi pernah menjadi guru dan pernah juga bekerja sebagai
tukang sobek karcis dan pembuat gambar reklame bioskop di salah satu gedung
bioskop di Bandung. Pekerjaan ini tidak lama digeluti karena Affandi lebih
tertarik pada bidang seni lukis. Sekitar tahun 30-an, Affandi bergabung dalam
kelompok Lima Bandung, yaitu kelompok lima pelukis Bandung. Mereka itu adalah
Hendra Gunawan, Barli, Sudarso, dan Wahdi serta Affandi yang dipercaya menjabat
sebagai pimpinan kelompok. Kelompok ini memiliki andil yang cukup besar dalam
perkembangan seni rupa di Indonesia. Kelompok ini berbeda dengan Persatuan Ahli
Gambar Indonesia (Persagi) pada tahun 1938, melainkan sebuah kelompok belajar
bersama dan kerja sama saling membantu sesama pelukis.
Pada
tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung Poetera
Djakarta yang saat itu sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di
Indonesia. Empat Serangkai–yang terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta,
Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur–memimpin Seksi Kebudayaan Poetera
(Poesat Tenaga Rakyat) untuk ikut ambil bagian. Dalam Seksi Kebudayaan Poetera
ini Affandi bertindak sebagai tenaga pelaksana dan S. Soedjojono sebagai
penanggung jawab, yang langsung mengadakan hubungan dengan Bung Karno.
Ketika
Republik ini diproklamasikan 1945, banyak pelukis ambil bagian. Gerbong-gerbong
kereta dan tembok-tembok ditulisi antara lain “Merdeka atau mati!”. Kata-kata
itu diambil dari penutup pidato Bung Karno, Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945.
Saat itulah, Affandi mendapat tugas membuat poster. Poster itu idenya dari Bung
Karno, gambar orang yang dirantai tapi rantai itu sudah putus. Yang dijadikan
model adalah pelukis Dullah. Lalu kata-kata apa yang harus ditulis di poster
itu? Kebetulan muncul penyair Chairil Anwar. Soedjojono menanyakan kepada
Chairil, maka dengan enteng Chairil ngomong: “Bung, ayo Bung!” Dan selesailah
poster bersejarah itu. Sekelompok pelukis siang-malam memperbanyaknya dan
dikirim ke daerah-daerah. Dari manakah Chairil memungut kata-kata itu? Ternyata
kata-kata itu biasa diucapkan pelacur-pelacur di Jakarta yang menawarkan
dagangannya pada zaman itu.
Bakat melukis yang menonjol
pada diri Affandi pernah menorehkan cerita menarik dalam kehidupannya. Suatu
saat, dia pernah mendapat beasiswa untuk kuliah melukis di Santiniketan, India,
suatu akademi yang didirikan oleh Rabindranath Tagore. Ketika telah tiba di
India, dia ditolak dengan alasan bahwa dia dipandang sudah tidak memerlukan
pendidikan melukis lagi. Akhirnya biaya beasiswa yang telah diterimanya
digunakan untuk mengadakan pameran keliling negeri India.
Sepulang dari India, Eropa,
pada tahun lima puluhan, Affandi dicalonkan oleh PKI untuk mewakili orang-orang
tak berpartai dalam pemilihan Konstituante. Dan terpilihlah dia, seperti Prof.
Ir. Saloekoe Poerbodiningrat dsb, untuk mewakili orang-orang tak berpartai.
Dalam sidang konstituante, menurut Basuki Resobowo yang teman pelukis juga,
biasanya katanya Affandi cuma diam, kadang-kadang tidur. Tapi ketika sidang
komisi, Affandi angkat bicara. Dia masuk komisi Perikemanusiaan (mungkin
sekarang HAM) yang dipimpin Wikana, teman dekat Affandi juga sejak sebelum
revolusi.
Lalu
apa topik yang diangkat Affandi? “Kita bicara tentang perikemanusiaan, lalu
bagaimana tentang perikebinatangan?” demikianlah dia memulai orasinya. Tentu
saja yang mendengar semua tertawa ger-geran. Affandi bukan orang humanis biasa.
Pelukis yang suka pakai sarung, juga ketika dipanggil ke istana semasa Suharto
masih berkuasa dulu, intuisinya sangat tajam. Meskipun hidup di jaman teknologi
yang sering diidentikkan jaman modern itu, dia masih sangat dekat dengan fauna,
flora dan alam semesta ini. Ketika Affandi mempersoalkan ‘Perikebinatangan’
tahun 1955, kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup masih sangat rendah.
Affandi
juga termasuk pimpinan pusat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi
kebudayaan terbesar yang dibubarkan oleh rezim Suharto. Dia bagian seni rupa
Lembaga Seni Rupa) bersama Basuki Resobowo, Henk Ngantung, dan sebagainya.
Pada
tahun 60-an, gerakan anti imperialis AS sedang mengagresi Vietnam cukup gencar.
Juga anti kebudayaan AS yang disebut sebagai ‘kebudayaan imperialis’. Film-film
Amerika, diboikot di negeri ini. Waktu itu Affandi mendapat undangan untuk
pameran di gedung USIS Jakarta. Dan Affandi pun, pameran di sana.
Ketika
sekelompok pelukis Lekra berkumpul, ada yang mempersoalkan. Mengapa Affandi
yang pimpinan Lekra kok pameran di tempat perwakilan agresor itu. Menanggapi
persoalan ini, ada yang menyeletuk: “Pak Affandi memang pimpinan Lekra, tapi
dia tak bisa membedakan antara Lekra dengan Lepra!” kata teman itu dengan
kalem. Karuan saja semua tertawa.
Meski
sudah melanglangbuana ke berbagai negara, Affandi dikenal sebagai sosok yang
sederhana dan suka merendah. Pelukis yang kesukaannya makan nasi dengan tempe
bakar ini mempunyai idola yang terbilang tak lazim. Orang-orang lain bila
memilih wayang untuk idola, biasanya memilih yang bagus, ganteng, gagah, bijak.
Namun, Affandi memilih Sokasrana yang wajahnya jelek namun sangat sakti. Tokoh
wayang itu menurutnya merupakan perwakilan dari dirinya yang jauh dari wajah
yang tampan. Meskipun begitu, Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi
(Deparpostel) mengabadikan wajahnya dengan menerbitkan prangko baru seri tokoh
seni/artis Indonesia.
Menurut
Helfy Dirix (cucu tertua Affandi) gambar yang digunakan untuk perangko itu
adalah lukisan self-portrait Affandi tahun 1974, saat Affandi masih begitu
getol dan produktif melukis di museum sekaligus kediamannya di tepi Kali Gajahwong
Yogyakarta.
Lukisan
karya Affandi telah dikoleksi oleh banyak kolektor dan pecinta lukisan
berkelas, karena harga lukisan Affandi yang mahal, menjadikanya hanya kalangan
tertentu saja yang sanggup untuk mengkoleksinya, dan hal tersebut membuat lukisan
Affandi menjadi sebuah simbol kebanggaan dan prestigious bagi pemiliknya.
Sehingga ada anggapan "Jika anda seorang kaya dengan Rumah atau kantor
mewah, namun belum memiliki lukisan karya salah satu pelukis maestro yang
terpajang di dinding ruangan, maka anda belum dikatakan memiliki mahkota
kekayaan".
B.
DESKRIPSI
Lukisan
“Badai Pasti Berlalu” Karya Affandi ini merupakan lukisan beraliran
ekspresionisme atau abstrak. Berukuran 137 cm x 92 cm dengan posisi landscape.
Bahan yang digunakan adalah cat minyak dengan media kanvas (Oil on Canvas). Alat
yang dibutuhkan adalah palet dan spantram. Affandi Koesoemo
dalam lukisan “badai pasti berlalu” ini menggunakan teknik finger paint, yaitu teknik melukis dengan menggunakan jari tangan,
tetapi Affandi dalam lukisan ini melakukannya dengan cara menumpahkan langsung
cairan cat dari tube-nya kemudian menyapu cat
itu dengan jari-jarinya.
Dalam
lukisan “Badai Pasti Berlalu” karya Affandi ini, terlihat sebuah perahu yang
sedikit terombang-ambing karena ombak dan badai, tetapi terlihat ada matahari
yang bersinar terang diatasnya.
C.
ANALISIS
Dalam
lukisan “Badai Pasti Berlalu” karya Affandi Koesoema, tentunya terdapat
unsur-unsur seni rupa. Dalam lukisan ini terdapat unsur titik, garis, tekstur,
warna, dan gelap terang.
Tekstur
pada lukisan dapat dirasakan dengan indra peraba atau kulit kita karena tekstur
tersebut merupakan tekstur tiga dimensi, yang terbentuk karena ketebalan cat
yang dilukiskan atau bahkan ditumpahkan oleh Affandi. Affandi menggunakan banyak
warna dalam lukisan ini, yaitu merah, putih, hijau, kuning, dan hitam. Unsur
gelap terang dibuat dengan pencampuran gradasi warna.
D.
INTERPRETASI
Lukisan
Affandi yang berjudul "Badai Pasti Berlalu” ini mengisahkan perjuangan
manusia yang sedang mengarungi samudera luas untuk mencapai suatu tempat yang
akan dituju, sebagaimana manusia dalam hidup ini terus berjuang untuk mencapai
tujuan yang diharapkan. Dan dalam perjalanan tersebut banyak sekali rintangan,
mulai dari ombak badai yang kecil hingga besar, namun setelah ombak dan badai
berlalu, secercah matahari memberikan sinarnya, membawa mereka hingga suatu
tempat tujuan yang mereka inginkan.
Dari
kisah mereka bisa diambil falsafah kehidupan, dimana mereka berhasil mengarungi
samudera luas, karena memiliki sebuah tujuan pasti dan keinginan yang besar
untuk meraih apa yang mereka inginkan, mereka gigih berusaha dan tidak pernah
menyerah, mereka tidak perduli sebanyak apapun, sebesar apapun badai dan ombak
menghadang, mereka menghadapinya, karena ombak dan badai pasti akan berlalu,
berganti dengan indahnya sinar matahari, menuju tempat impian mereka.
Manusia
disimbolkan dengan Perahu, harapan disimbolkan dengan Matahari, Kehidupan
disimbolkan dengan lautan Samudera, rintangan, masalah, Ujian dalam kehidupan
disimbolkan dengan ombak dan badai.
Setiap
manusia memiliki arah tujuan kehidupanya masing-masing, bahkan memiliki
cita-cita atau impianya masing-masing, hanya manusia yang memiiliki arah tujuan
hidup yang pasti, gigih berjuang dan tidak pernah menyerah, yang akan bisa
sampai pada suatu tempat kehidupan yang manusia tuju, sesuai dengan yang mereka
inginkan, meski badai dan ombak kehidupan datang silih berganti, tidak pernah
menyurutkan niat mereka untuk mundur, lari atau bahkan menyerah.
Mereka
selalu mempunyai secercah harapan diatas harapan yang disimbolkan dalam lukisan
sebagai Matahari, mereka mempunyai keyakinan akan apa yang mereka lakukan,
bahwa badai dan gelombang dalam perjalanan kehidupan mereka akan berlalu,
mereka akan sampai pada suatu tempat kehidupan seperti yang mereka inginkan,
dan mereka yakin bahwa impian mereka akan terwujud.
Lukisan
ini bisa menjadi inspirasi, motivasi dan falsafah bagi siapa saja yang mampu
memaknai dan menghayati pesan yang tersirat dan terkandung dalam karya lukisan
Affandi ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar