Kamis, 17 November 2016

APRESIASI SENI RUPA 3 DIMENSI (I NYOMAN NUARTA)


“GARUDA WISNU KENCANA”
I Nyoman Nuarta
75 m  x 60 m

A.    BIOGRAFI
            I   Nyoman Nuarta dibesarkan di lingkungan keluarga pengusaha yang berhasil dan cukup terkenal di kotanya. Meski demikian, putra pasangan Wirjamidjana dan Semuda ini tumbuh dalam didikan pamannya, seorang kelihan adat dengan disiplin yang cukup ketat. Perkenalannya dengan guru menggambar, Ketut Dharma Susila, menjadi titik awal perjalanan karirnya di dunia seni. 
            Untuk mengasah bakatnya, pria kelahiran Tabanan, 14 November 1951 ini melanjutkan kuliahnya di Jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1972. Saat itulah karirnya di dunia seni berawal. Bersama beberapa sahabat dekatnya seperti pelukis Hardi, Dede Eri Supria, Harsono, serta kritikus seni Jim Supangkat, Nyoman bergabung dalam Gerakan Seni Rupa Baru di Indonesia pada tahun 1977. Gerakan itu kemudian menjadi salah satu tonggak penting perkembangan seni rupa di Indonesia bahkan telah menerima penghargaan dari Presiden HM Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988) Soeharto di tahun 1979. 
            Nyoman awalnya lebih tertarik dalam bidang seni lukis dengan mengambil kuliah di jurusan Seni Rupa. Namun pada akhirnya, ia memutuskan untuk pindah ke jurusan seni patung setelah ia mengikuti kuliah selama dua tahun. Ia merasa, bakat serta kemampuannya lebih berkembang di seni patung. Pilihan itu tidak keliru. Pada tahun 1979, ia memenangkan Lomba Patung Proklamator Republik Indonesia yang sekaligus mengantarkannya ke jenjang ketenaran. Sejak itu, anak ke-6 dari 9 bersaudara ini banyak menelurkan karya-karya mengagumkan yang tersebar hampir di seluruh Indonesia. Pada 1993, Nyoman membuat Monumen Jalesveva Jayamahe, yang hingga hari ini masih berdiri kokoh di ujung Utara Surabaya. Monumen tersebut menggambarkan sosok Perwira TNI Angkatan Laut dengan memakai pakaian PDU lengkap dengan pedang kehormatan sedang menatap ke arah laut. Patung tersebut berdiri tegak di atas bangunan gedung dengan tinggi keseluruhan mencapai 60,6 m. Monumen Jalesveva Jayamahe menggambarkan generasi penerus bangsa yang dengan penuh keyakinan dan kesungguhan siap menerjang ombak badai menuju arah yang telah ditunjukkan yaitu cita-cita bangsa Indonesia. 
            Karya lain yang tak kalah fenomenal adalah patung Garuda Wisnu Kencana (GWK). Patung ini sendiri menggambarkan sosok Dewa Wisnu (Dewa penyelamat bagi umat Hindu) yang sedang mengendarai burung Garuda. Pembuatan patung ini terinspirasi dari kisah Adi Parwa yang diambil pada episode Garuda yang memberikan kesetiaan dan pengorbanannya untuk menyelamatkan ibunya dari belenggu perbudakan. Hal yang dilakukannya yaitu dengan mengabdi kepada Dewa Wisnu dan menjadi kendaraan bagi sang Dewa. 
            Bisa dibilang patung GWK merupakan karya terbesar I Nyoman Nuarta. Pasalnya, pembangunan patung yang terletak di Desa Ungasan, Jimbaran, Bali ini kerap disebut sebagai mega proyek. Taman budaya Garuda Wisnu Kencana sendiri mempunyai luas keseluruhan sekitar 200 hektare. Dengan tinggi sekitar 75 meter, patung tersebut diletakkan di atas fondasi setinggi 70 meter. Dengan demikian, total tingginya mencapai 145 meter. Untuk patung Garudanya saja mempunyai lebar bentangan sayap sekitar 66 meter. Berat keseluruhan patung tersebut mencapai 4000 ton. Patung GWK bahkan disebut-sebut sebagai patung tertinggi di dunia mengalahkan patung Liberty yang menjadi ikon kota New York, Amerika Serikat. 
            Bagi seniman yang sudah menciptakan ratusan patung bernilai seni dan berdaya jual tinggi itu, proyek GWK ibarat ladang amal. Motifnya menggagas pembangunan proyek tersebut bukan semata untuk keuntungan materi. Oleh sebab itu, ia tidak buru-buru mematok tarif untuk karya besarnya tersebut. Yang terpenting bagi Nyoman ialah, ia bisa memberikan warisan budaya yang berharga bagi anak cucu bangsa. Kedengarannya memang klise, tapi itulah Nyoman yang sudah hidup makmur dari mematung. 
            Selain sebagai alternatif objek wisata di Pulau Dewata, tujuan pembangunan patung tersebut menurut Nyoman adalah untuk membantu para seniman tua yang sudah pensiun dan beberapa kelompok kesenian yang bangkrut karena kekurangan dana. Di samping itu, sebagai ahli patung modern, Nyoman Nuarta merasa sangat prihatin melihat perkembangan seni patung di Indonesia, karena patung saat ini belum memiliki tempat yang layak di hati masyarakat. Padahal patung dapat digunakan untuk mempercantik lingkungan. 
            Selain monumen Jalesveva Jayamahe dan Garuda Wisnu Kencana, masih ada sekitar ratusan patung serta monumen yang terlahir dari buah kreativitas suami dari Cynthia Nuarta ini dan tersebar di seluruh penjuru Tanah Air. Di antaranya, Patung Wayang (Solo), Monumen Arjuna Wijaya (Jakarta), Patung Putri Melenu (Kalimantan Timur), Patung Timika untuk Alun-alun Newtown Freeport (Irian Jaya), dan masih banyak lagi. 
            Selama berkiprah sebagai pematung, Nyoman Nuarta juga pernah merasakan pengalaman yang kurang menyenangkan. Seperti yang terjadi di tahun 2010 lalu, saat Patung Tiga Mojang buatannya yang telah dua tahun berdiri di sebuah perumahan di Kota Bekasi, Jawa Barat, dirobohkan oleh sebuah ormas karena dituding sebagai perlambangan Trinitas dan dianggap menyinggung perasaan umat Islam serta diduga tidak memiliki ijin. Patung tersebut dirobohkan pada pukul 07.30 WIB dan baru pukul 10.00 WIB berhasil dipindahkan ke Mapolrestro Kota Bekasi untuk selanjutnya diserahkan kembali oleh pengembang. 
            Nyoman menyesalkan aksi tersebut seraya menjelaskan bahwa tudingan tersebut sama sekali tidak benar. "Patung tersebut adalah gambaran mojang priangan yang menggunakan pakaian kemben bukan gambaran Bunda Maria yang memakai kerudung," kata pematung yang tinggal di Tirtasari, Bandung ini seperti dikutip dari situs antaranews. Nyoman juga menambahkan, peristiwa tersebut merupakan preseden buruk bagi kesenian dan kebudayaan Indonesia. 
            Selain membuat patung dan monumen, ayah dua putri ini juga membuat trofi untuk beberapa kejuaraan olahraga. Pada tahun 1994, ia mendesain Piala Liga Dunhill. Kemudian di tahun 2011, Nyoman membuat Championship Trophy National Basketball League (NBL) Indonesia musim 2011-2012. Trofi tersebut memiliki dimensi 22 cm x 22 cm, tinggi 48 cm, berat 22 kg, serta berbahan dasar tembaga berlapis emas 22 karat, serta didesain dengan detail yang mengagumkan. Di situ terdapat sosok-sosok manusia yang mengikuti pusaran dan berebut bola, memperlihatkan gerakan-gerakan dinamis yang mengarah pada perjuangan dan keuletan mencapai prestasi trofi ini merefleksikan bahwa prestasi merupakan kedigdayaan yang bisa dicapai manusia.
            Nyoman mengaku bangga dapat mempersembahkan karya seninya bagi dunia olahraga Tanah Air. Ia juga merasa prihatin dengan kemajuan dunia olahraga di Indonesia, karena itu, ia merasa ikut memiliki tanggung jawab dalam memajukannya. Komisioner PT. Nyoman Nuarta Enterprise ini berharap trofi tersebut dapat menginspirasi perjuangan anak bangsa untuk memajukan olahraga di Indonesia, khususnya basket. Selain trofi, Nyoman Nuarta juga mempersembahkan sebuah puisi khusus yang menceritakan filosofi dari rancangan trofi tersebut. 
            Kontribusi I Nyoman Nuarta sebagai pematung telah mendapatkan pengakuan, baik dari pemerintah Indonesia maupun dunia internasional. Nyoman juga bergabung dalam organisasi seni patung internasional, di antaranya International Sculpture Center Washington, Amerika serikat, Royal british  sculpture society, London dan juga sterring commitee for Bali Recovery Program.
            Dalam berkarya, peraih penghargaan Jasa Adiutama dari ITB tahun 2009 ini lebih memilih menggunakan bahan kuningan dan tembaga. Kendati kedua material tadi terbilang sulit dibentuk, namun berkat tangan terampil, ketajaman logika dan kepekaan rasa seninya, kuningan dan tembaga berhasil diubah menjadi patung-patung indah. Dengan teknik las, ia mengerjakan seluruh detail yang rumit. Kemudian potongan-potongan logam kuningan dan tembaga yang keras dibentuk dengan jalan pemanasan. Tembaga cair yang telah dipanaskan tadi lalu diteteskan di atas batang kuningan yang telah ia satukan. 
            Dalam mengerjakan proses tersebut, Nyoman menggunakan tiga alat las yang ukurannya berbeda. Satu untuk membentuk, satu untuk memanaskan, dan satu lagi untuk mempertahankan supaya kuningan tetap cair. Proses pembentukan pun harus dilakukan dengan sangat cepat, karena logam cair akan membeku kembali dalam beberapa menit. Nyoman enggan menggunakan tanah liat sebagai bahan pembuat patung-patungnya karena tanah liat dianggap terlalu lunak untuk menghasilkan ekspresi yang keras. 
            Sedangkan untuk patung yang halus seperti Lamunan, Nyoman menerapkan teknik mencetak model tanah liat. Namun, untuk karya yang menunjukkan citra bergolak, seperti Prahara, Nyoman menggunakan teknik pahat. Caranya, ia lebih dulu mencetak bongkahan polyester resin. Bongkahan inilah yang kemudian dipahatnya. Sementara batu-batuan atau pualam dinilai Nyoman tidak efisien di zaman teknologi seperti sekarang ini, lantaran sulit didapat, mahal, berat, serta proses pengerjaannya yang memakan waktu lama. 
            Perhitungan material dalam membuat karya-karya monumental, menurut Nyoman, sama pentingnya dengan nilai seninya sendiri. Jangan sampai nilai seninya begitu diutamakan, tapi pembiayaannya tak terkontrol. Pernyataan ini menunjukkan, Nyoman mematung bukan cuma untuk kebutuhan berekspresi. Namun ia juga mencoba bersikap profesional dalam menerima pesanan. 
            Dalam perkembangan profesinya lebih lanjut, Nyoman terus berusaha melewati berbagai rintangan dan hambatan. Dipicu semangat profesionalisme dan dukungan beberapa seniman muda, ia mendirikan satu kelompok yang dikelola melalui pendekatan manajemen yang apik. Ternyata dengan pendekatan ini dapat dibuktikan bahwa bidang seni rupa yang selalu dianggap sangat individual ternyata dapat dilaksanakan melalui sistem manajemen yang profesional. Bersama sang istri yang sekaligus bertindak sebagai manajer, Nyoman membangun sebuah studio di Bandung dan mempekerjakan puluhan karyawan. Ia juga mengaku lebih nyaman tinggal di Kota Kembang ketimbang di kota kelahirannya karena udaranya yang sejuk. 
            Untuk meneruskan sepak terjangnya, Nyoman mewariskan bakat seninya kepada kedua putrinya, si sulung, Tania yang menekuni jurusan seni rupa di sebuah perguruan tinggi di Melbourne, Australia, serta sang adik, Tasya, yang kerap menemani Nuarta di studionya. Sebagai seorang pematung, Nuarta telah membangun Taman Patung yang ia namakan NuArt Gallery di tahun 2000. Di taman yang berlokasi di kawasan Sarijadi, Bandung itu terdapat puluhan patung dalam berbagai bentuk dan ukuran yang bertebaran di areal seluas tiga hektar. Selain taman, juga dibangun gedung empat lantai untuk pameran dan ruang pertemuan dengan gaya artistik. 
            Kerja keras merupakan prinsipnya dalam menggeluti dunia seni. Dukungan keluarga juga amat diperlukan sehingga anggapan bahwa masa depan seniman itu suram bisa ditanggalkan. Sedangkan dalam berkarya, Nuarta tidak pernah mempersoalkan aliran. Ia mengenal beberapa aliran dan ia percaya perubahan itu adalah kelebihan manusia dari makhluk lain.

B.     DESKRIPSI
Patung karya I Nyoman Nuarta ini merupakan patung yang bersifat nyata atau 3 dimensi. Mempunyai tinggi sekitar 75 meter dan lebar sekitar 60 meter. Bahan yang digunakan oleh I Nyoman Nuarta pada patung ini adalah “stainless steel”, sehingga GWK akan memiliki daya tahan terhadap kekuatan gempa berskala 7,5 SR. GWK dibangun sebagai “landmark” dari kawasan wisata bernama “cultural park” sebuah taman kebudayaan, di mana para pengunjung bisa menikmati berbagai suguhan atraksi kebudayaan di dalamnya. Teknik yang digunakan sangat beragam, diantaranya pahat, tempel, cor, dll.

C.    ANALISIS
Dalam patung “Garuda Wisnu Kencana” Karya I Nyoman Nuarta ini, tentunya terdapat unsur seni rupa. Dalam karyanya ini terdapat unsur titik, garis, tekstur, ruang, dan warna.
Tekstur pada patung dapat dirasakan dengan indra peraba atau kulit kita karena tekstur tersebut merupakan tekstur tiga dimensi, terasa sedikit kasar. I Nyoman Nuarta tidak menggunakan warna buatan dalam patung ini, warna patung masih asli dari bahan yang digunakan untuk membuat patung. Unsur gelap terang terlihat jika sebagian patung tidak terkena cahaya. Patung “Garuda Wisnu Kencana” ini memiliki ruang yang dapat dimasuki oleh pengunjung.


D.    INTERPRETASI
Patung Garuda Wisnu Kencana bagi masyarakat Bali mengandung makna simbolik, karena hampir pada setiap bangunan suci yang beruwujud Padmasana, pada bagian belakangnya diberi lukisan atau pahatan burung garuda. Bahkan pada usungan jenazah yang disebut “wadah” atau “Bade” juga selalu dibuat ornamen berupa burung garuda. Cerita mengenai burung garuda sebagai sang pembebas dari keterikatan duniawi telah mengilhami para seniman Bali sejak dulu hingga sekarang untuk memberi tempat yang khusus bagi burung yang disucikan itu.
Garuda adalah simbol kebebasan dari belitan para naga, yang menyimbolkan benda-benda duniawi. Dengan demikian garuda adalah simbol tubuh manusia yang ingin mencari pembebasan.
Untuk itulah garuda bersedia menjadi kendaraan dewa, dalam hal ini Dewa Wisnu, simbol dari tugas kebijakan yang diperintahkan Tuhan melalui ajaran agama, agar bisa mendapatkan amerta.
Dewa Wisnu sendiri tak lain adalah Hyang Widhi dalam fungsinya untuk memelihara dunia dan segala isinya. Di dalam menjalankan tugasnya sebagai pemelihara alam semesta, Dewa Wisnu didampingi oleh dua sakti beliau, yang dalam mitologi dikenal bernama Dewi Sri atau Dewi Kemakmuran dan Dewi Laksmi, Dewi Keberuntungan.
Dengan demikian Garuda sebagai kendaraan dari Dewa Wisnu adalah simbol manusia mengemban tugas dari Tuhan untuk melestarikan alam. Dalam melaksanakan pelestarian itu, manusia boleh menikmati kemakmuran dan keberuntungan, tetapi tidak boleh terikat dengan pamrih untuk kepentingan pribadi.

Garuda Wisnu mengandung filsafat hidup, “Bagaimana caranya bisa hidup di dunia, tetapi tidak asin oleh garamnya dunia. Seperti nakhoda dengan perahu layar di samudera luas, tetapi tidak tenggelam oleh air lautan.”

Senin, 08 Agustus 2016

APRESIASI SENI RUPA LUKISAN AFFANDI KOESOEMA



“BADAI PASTI BERLALU”
Affandi Koesoema
137cm x 92cm

A.    BIOGRAFI
            Affandi Koesoema dilahirkan di Cirebon pada tahun 1907, putra dari Raden Koesoema, seorang mantri ukur di pabrik gula di Ciledug, Cirebon. Dari segi pendidikan, ia termasuk seorang yang memiliki pendidikan formal yang cukup tinggi. Bagi orang-orang segenerasinya, memperoleh pendidikan HIS, MULO, dan selanjutnya tamat dari AMS, termasuk pendidikan yang hanya diperoleh oleh segelintir anak negeri. Namun, bakat seni lukisnya yang sangat kental mengalahkan disiplin ilmu lain dalam kehidupannya, dan memang telah menjadikan namanya tenar sama dengan tokoh atau pemuka bidang lainnya.
            Pada umur 26 tahun, pada tahun 1933, Affandi menikah dengan Maryati, gadis kelahiran Bogor. Affandi dan Maryati dikaruniai seorang putri yang nantinya akan mewarisi bakat ayahnya sebagai pelukis, yaitu Kartika Affandi.
            Sebelum mulai melukis, Affandi pernah menjadi guru dan pernah juga bekerja sebagai tukang sobek karcis dan pembuat gambar reklame bioskop di salah satu gedung bioskop di Bandung. Pekerjaan ini tidak lama digeluti karena Affandi lebih tertarik pada bidang seni lukis. Sekitar tahun 30-an, Affandi bergabung dalam kelompok Lima Bandung, yaitu kelompok lima pelukis Bandung. Mereka itu adalah Hendra Gunawan, Barli, Sudarso, dan Wahdi serta Affandi yang dipercaya menjabat sebagai pimpinan kelompok. Kelompok ini memiliki andil yang cukup besar dalam perkembangan seni rupa di Indonesia. Kelompok ini berbeda dengan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada tahun 1938, melainkan sebuah kelompok belajar bersama dan kerja sama saling membantu sesama pelukis.
            Pada tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung Poetera Djakarta yang saat itu sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Empat Serangkai–yang terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur–memimpin Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) untuk ikut ambil bagian. Dalam Seksi Kebudayaan Poetera ini Affandi bertindak sebagai tenaga pelaksana dan S. Soedjojono sebagai penanggung jawab, yang langsung mengadakan hubungan dengan Bung Karno.
            Ketika Republik ini diproklamasikan 1945, banyak pelukis ambil bagian. Gerbong-gerbong kereta dan tembok-tembok ditulisi antara lain “Merdeka atau mati!”. Kata-kata itu diambil dari penutup pidato Bung Karno, Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945. Saat itulah, Affandi mendapat tugas membuat poster. Poster itu idenya dari Bung Karno, gambar orang yang dirantai tapi rantai itu sudah putus. Yang dijadikan model adalah pelukis Dullah. Lalu kata-kata apa yang harus ditulis di poster itu? Kebetulan muncul penyair Chairil Anwar. Soedjojono menanyakan kepada Chairil, maka dengan enteng Chairil ngomong: “Bung, ayo Bung!” Dan selesailah poster bersejarah itu. Sekelompok pelukis siang-malam memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-daerah. Dari manakah Chairil memungut kata-kata itu? Ternyata kata-kata itu biasa diucapkan pelacur-pelacur di Jakarta yang menawarkan dagangannya pada zaman itu.
            Bakat melukis yang menonjol pada diri Affandi pernah menorehkan cerita menarik dalam kehidupannya. Suatu saat, dia pernah mendapat beasiswa untuk kuliah melukis di Santiniketan, India, suatu akademi yang didirikan oleh Rabindranath Tagore. Ketika telah tiba di India, dia ditolak dengan alasan bahwa dia dipandang sudah tidak memerlukan pendidikan melukis lagi. Akhirnya biaya beasiswa yang telah diterimanya digunakan untuk mengadakan pameran keliling negeri India.
            Sepulang dari India, Eropa, pada tahun lima puluhan, Affandi dicalonkan oleh PKI untuk mewakili orang-orang tak berpartai dalam pemilihan Konstituante. Dan terpilihlah dia, seperti Prof. Ir. Saloekoe Poerbodiningrat dsb, untuk mewakili orang-orang tak berpartai. Dalam sidang konstituante, menurut Basuki Resobowo yang teman pelukis juga, biasanya katanya Affandi cuma diam, kadang-kadang tidur. Tapi ketika sidang komisi, Affandi angkat bicara. Dia masuk komisi Perikemanusiaan (mungkin sekarang HAM) yang dipimpin Wikana, teman dekat Affandi juga sejak sebelum revolusi.

            Lalu apa topik yang diangkat Affandi? “Kita bicara tentang perikemanusiaan, lalu bagaimana tentang perikebinatangan?” demikianlah dia memulai orasinya. Tentu saja yang mendengar semua tertawa ger-geran. Affandi bukan orang humanis biasa. Pelukis yang suka pakai sarung, juga ketika dipanggil ke istana semasa Suharto masih berkuasa dulu, intuisinya sangat tajam. Meskipun hidup di jaman teknologi yang sering diidentikkan jaman modern itu, dia masih sangat dekat dengan fauna, flora dan alam semesta ini. Ketika Affandi mempersoalkan ‘Perikebinatangan’ tahun 1955, kesadaran masyarakat terhadap lingkungan hidup masih sangat rendah.
            Affandi juga termasuk pimpinan pusat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), organisasi kebudayaan terbesar yang dibubarkan oleh rezim Suharto. Dia bagian seni rupa Lembaga Seni Rupa) bersama Basuki Resobowo, Henk Ngantung, dan sebagainya.
            Pada tahun 60-an, gerakan anti imperialis AS sedang mengagresi Vietnam cukup gencar. Juga anti kebudayaan AS yang disebut sebagai ‘kebudayaan imperialis’. Film-film Amerika, diboikot di negeri ini. Waktu itu Affandi mendapat undangan untuk pameran di gedung USIS Jakarta. Dan Affandi pun, pameran di sana.
            Ketika sekelompok pelukis Lekra berkumpul, ada yang mempersoalkan. Mengapa Affandi yang pimpinan Lekra kok pameran di tempat perwakilan agresor itu. Menanggapi persoalan ini, ada yang menyeletuk: “Pak Affandi memang pimpinan Lekra, tapi dia tak bisa membedakan antara Lekra dengan Lepra!” kata teman itu dengan kalem. Karuan saja semua tertawa.
            Meski sudah melanglangbuana ke berbagai negara, Affandi dikenal sebagai sosok yang sederhana dan suka merendah. Pelukis yang kesukaannya makan nasi dengan tempe bakar ini mempunyai idola yang terbilang tak lazim. Orang-orang lain bila memilih wayang untuk idola, biasanya memilih yang bagus, ganteng, gagah, bijak. Namun, Affandi memilih Sokasrana yang wajahnya jelek namun sangat sakti. Tokoh wayang itu menurutnya merupakan perwakilan dari dirinya yang jauh dari wajah yang tampan. Meskipun begitu, Departemen Pariwisata Pos dan Telekomunikasi (Deparpostel) mengabadikan wajahnya dengan menerbitkan prangko baru seri tokoh seni/artis Indonesia.
            Menurut Helfy Dirix (cucu tertua Affandi) gambar yang digunakan untuk perangko itu adalah lukisan self-portrait Affandi tahun 1974, saat Affandi masih begitu getol dan produktif melukis di museum sekaligus kediamannya di tepi Kali Gajahwong Yogyakarta.
            Lukisan karya Affandi telah dikoleksi oleh banyak kolektor dan pecinta lukisan berkelas, karena harga lukisan Affandi yang mahal, menjadikanya hanya kalangan tertentu saja yang sanggup untuk mengkoleksinya, dan hal tersebut membuat lukisan Affandi menjadi sebuah simbol kebanggaan dan prestigious bagi pemiliknya. Sehingga ada anggapan "Jika anda seorang kaya dengan Rumah atau kantor mewah, namun belum memiliki lukisan karya salah satu pelukis maestro yang terpajang di dinding ruangan, maka anda belum dikatakan memiliki mahkota kekayaan".
B.     DESKRIPSI
            Lukisan “Badai Pasti Berlalu” Karya Affandi ini merupakan lukisan beraliran ekspresionisme atau abstrak. Berukuran 137 cm x 92 cm dengan posisi landscape. Bahan yang digunakan adalah cat minyak dengan media kanvas (Oil on Canvas). Alat yang dibutuhkan adalah palet dan spantram. Affandi Koesoemo dalam lukisan “badai pasti berlalu” ini menggunakan teknik finger paint, yaitu teknik melukis dengan menggunakan jari tangan, tetapi Affandi dalam lukisan ini melakukannya dengan cara menumpahkan langsung cairan cat dari tube-nya kemudian menyapu cat itu dengan jari-jarinya.
            Dalam lukisan “Badai Pasti Berlalu” karya Affandi ini, terlihat sebuah perahu yang sedikit terombang-ambing karena ombak dan badai, tetapi terlihat ada matahari yang bersinar terang diatasnya.

C.    ANALISIS
            Dalam lukisan “Badai Pasti Berlalu” karya Affandi Koesoema, tentunya terdapat unsur-unsur seni rupa. Dalam lukisan ini terdapat unsur titik, garis, tekstur, warna, dan gelap terang.
            Tekstur pada lukisan dapat dirasakan dengan indra peraba atau kulit kita karena tekstur tersebut merupakan tekstur tiga dimensi, yang terbentuk karena ketebalan cat yang dilukiskan atau bahkan ditumpahkan oleh Affandi. Affandi menggunakan banyak warna dalam lukisan ini, yaitu merah, putih, hijau, kuning, dan hitam. Unsur gelap terang dibuat dengan pencampuran gradasi warna.

D.    INTERPRETASI
            Lukisan Affandi yang berjudul "Badai Pasti Berlalu” ini mengisahkan perjuangan manusia yang sedang mengarungi samudera luas untuk mencapai suatu tempat yang akan dituju, sebagaimana manusia dalam hidup ini terus berjuang untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Dan dalam perjalanan tersebut banyak sekali rintangan, mulai dari ombak badai yang kecil hingga besar, namun setelah ombak dan badai berlalu, secercah matahari memberikan sinarnya, membawa mereka hingga suatu tempat tujuan yang mereka inginkan.
            Dari kisah mereka bisa diambil falsafah kehidupan, dimana mereka berhasil mengarungi samudera luas, karena memiliki sebuah tujuan pasti dan keinginan yang besar untuk meraih apa yang mereka inginkan, mereka gigih berusaha dan tidak pernah menyerah, mereka tidak perduli sebanyak apapun, sebesar apapun badai dan ombak menghadang, mereka menghadapinya, karena ombak dan badai pasti akan berlalu, berganti dengan indahnya sinar matahari, menuju tempat impian mereka.
            Manusia disimbolkan dengan Perahu, harapan disimbolkan dengan Matahari, Kehidupan disimbolkan dengan lautan Samudera, rintangan, masalah, Ujian dalam kehidupan disimbolkan dengan ombak dan badai.
            Setiap manusia memiliki arah tujuan kehidupanya masing-masing, bahkan memiliki cita-cita atau impianya masing-masing, hanya manusia yang memiiliki arah tujuan hidup yang pasti, gigih berjuang dan tidak pernah menyerah, yang akan bisa sampai pada suatu tempat kehidupan yang manusia tuju, sesuai dengan yang mereka inginkan, meski badai dan ombak kehidupan datang silih berganti, tidak pernah menyurutkan niat mereka untuk mundur, lari atau bahkan menyerah.
            Mereka selalu mempunyai secercah harapan diatas harapan yang disimbolkan dalam lukisan sebagai Matahari, mereka mempunyai keyakinan akan apa yang mereka lakukan, bahwa badai dan gelombang dalam perjalanan kehidupan mereka akan berlalu, mereka akan sampai pada suatu tempat kehidupan seperti yang mereka inginkan, dan mereka yakin bahwa impian mereka akan terwujud.

            Lukisan ini bisa menjadi inspirasi, motivasi dan falsafah bagi siapa saja yang mampu memaknai dan menghayati pesan yang tersirat dan terkandung dalam karya lukisan Affandi ini.